Minggu, 07 Februari 2016

ADMINISTRASI DAN MANAJEMEN PENDIDIKAN



               LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

1.    PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
MBS memiliki banyak pengertian, bergantung dari sudut pandang orang yang mengartikannya. Nurkholis (2003:1), misalnya, menjelaskan bahwa Manejemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manjemen, berbasis dan sekolah.
            Pertama,  istilah manejemen memiliki banyak arti. Secara umum manejemen dapat diartikan sebagai proses mengelola sumber daya secara efektifuntuk mencapai tujuan. Ditinjau dari aspek pendidikan, manejemen pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangkan panjanga. Kedua, kata berbasis mempunyai kata dasar basis atau dasar. Ketiga, kata sekolah merujuk pada lembaga tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Bertolak dari arti ketiga istilah itu, maka istilah Manejemen Berbasis Sekolah dapt diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya yang berdasar pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Slamet PH(2001) mendefinisikan manajemen berbasis sekolah dengan bertolak dari kata manajemen, berbasis dan sekolah. Menurut Slamet bearti koordinasi dab peneyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, untuk berbasis artinya “ berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”, sedangkan sekolah merupakan organi sasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional  (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesional-listik (kualifikasi,untuk daya manusia).
Atas dasar itu pula, Slamet menyimpulkan bahwa MBS adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan(partisipatif). Kelompok kepentingan tersebut meliputi kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para frofesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan.
Wohlsteeter, Priscilla & Mohrman (1996) menyatakan bahwa MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kpada partisipan sekolah di tingkat lokat guna memajukan sekolahanya.sedangkan Myers dan Stonehil (1993) mengemukakan bahwa MBS merupakan strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas pengembilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah kesekolah-sekolah secara individual.
Sementara itu, Ogawa & Kranz (1990:290) memendang MBS secara konseptual sebagai perubahan formal dari struktur tata pelayanan pendidikan(gevormance) yaitu pada distribusi kewenangan pengambilan keputusan sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dari peningkatan dan kepercayaan dan juga sebagai alat utama untuk meningkatkan partisipasi dan dukungan.
Senada dengan pengertiaan Ogawa & Kranz , Kubick & Kathelen (1988:22) menyatakan bahwa MBS merupakan suatu sistem administrasi dimana sekolah merupakan satuan yang utama dalam pengambilan keputusan bidang pendidikan.
Perihal MBS ini, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51, ayat(1) menyertakan, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar peleyanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Selanjutnya, penejelasan pasal 51, ayat (1) menerangkan bahwa, “Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidkan, yang dalam hal ini kapala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”.
Selanjutnya, peran komite sekolah yang dalam hal ini merupakan refleksi dari pemangku kepentingan pendidikan (orang tua, masyarakat, pengguna lulusan, guru, kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan) trlibat baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam pngelolaan pendidikan di sekolah. Artinya, dengan MBS tujuan pendidikan yang diharapkan oleh pemangku dapat dipenuhi.
Secara lebih ringkas definisi MBS adalah otonomi manajemn sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah kwenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah dan sesuai dengan peraturan perundang undangan pendidikan yang berlaku. Sementara itu, pengambilan keputusan partisipatif ada lah cara pengambilan keputusan dengan menciptakan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaiannya tujuan sekolah.
Departeman Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyebut MBS dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Secara umum MPMBS diartikan sebagai model manajemen yang memberi otonomi lebih besar pada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan pastisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah  untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasioanal.
Beberapa definisi lain yang juga perlu disimak adalah School Based Management Is A Strategy to imoprove education by transfering significant decision making autority from state and district offices to individual school. Bahwa MBS adalah suatu strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan memindahkan kewenangan pengambilan keputusan yang penting dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada pihak pengelola sekolah.
MBS disebut juga dengan istilah Shared Decision Making refes to an inclusif or reprensentative decision making proses in which all members of the group participate as aquels, bahwa MBS merujuk pada suatu representasi proses pengambilan keputusan dimana seluruh anggota kelompak berpartisipasi secara seimbang.
Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa MBS adalah model pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri secara langsung.
Era Repormasi yang sedang kita jalani, ditandai dengan beberapa perubahan dibeberapa bidang kehidupan, politik, moneter, hukum sampai kepada bidang pendidikan. Konsekuensi dari pada perubahan tersebut diantaranya melahirkan UU No. 22 Thn 1999 tentang Otonomi daerah, dan UU No. 25 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. UU tersebut mengakibatkan kewenangan bagi daerah untuk mengurus sejumlah potensi daerahnya termasuk pendidikan.
Dengan di undangkannya UU No. 22 Tahun 1999 diatas, pada dasarnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut kehendak dan prakarsa sendiri berdasarkan kebutuhan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Kewenangan daerah kabupaten / kota, sebagaimana dirumuskan pada pasal II, mencakup semua bidang pemerintahan, yakni pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri tenaga kerja dll. Dengan demikian jelaslah bahwa kebijakan pendidikan berada dibawah kewenangan daerah kabupaten / kota. ( Mulyasa, 2002 : 5).
Di sinilah signifikansinya pemerintah daerah  mengurusi pendidikan disebabkan setiap daerah memiliki potensi wilayah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Jika, manajemen atau lebih tepatnya kebijakan pendidikan yang diperankan oleh pemerintah daerah  baik dengan mempertimbangkan potensi-potensi yang ada, maka peluang pendidikan untuk maju semakin besar.
Banyak hal yang telah diluncurkan oleh pemerintah dalam kaitannya terhadap kemajuan dan keberhasilan pendidikan di Indonesia, seperti program “ Aku Anak Sekolah” yang didukung oleh Badan-badan Internasional. Seperti Bank Dunia, dan UNICEP, dan program DBO bagi sekolah-sekolah yang tidak mampu, program BKM dari dana JPSBP sampai kepada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sangat signifikan bagi kelangsungan lembaga / insitusi Pendidikan sekarang ini.
Berbagai program yang dilaksanakan telah memberikan harapan bagi kelangsungan dan terkendalinya kualitas pendidikan Indonesia semasa krisis. Akan tetapi, karena pengelolaannya yang terlalu kaku dan sentralistik, program itu pun tidak banyak memberikan dampak positif, angka partisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan tetap menurun. Diduga hal tesebut erat kaitannya dengna masalah manajemen. Dalam kaitan ini, muncullah salah satu pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Pemikiran ini dalam perjalanannya disebut manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school based manajemen (SBM), yang telah berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan berbagai masalah pendidikan di beberapa negara maju, seperti Australia dan Amerika.
Konsep “Manajemen Berbasis Sekolah” (MBS) yang dalam bahasa Inggris disebut School Based Management, pertama kali muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya diawali dengan munculnya pertanyaan masyarakat tentang apa yang dapat diberikan sekolah kepada masyarakat dan juga relevansi dan korelasi pendidikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kinerja sekolah pada saat itu dianggap oleh masyarakat tidak sesuai dengan tuntutan siswa untuk terjun ke dunia usaha dan sekolah dianggap tidak mampu memberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi yang kompetitif secara global. Fenomena tersebut oleh pemerintah, khususnya pihak sekolah dan masyarakat, segera diantisipasi dengan melakukan upaya perubahan dan penataan manajemen sekolah. Untuk memenuhi kemampuan kompetitif tersebut, masyarakat dan pemerintah sepakat melakukan reformasi terhadap manajemen sekolah yang mengacu pada kebutuhan kompetitif. (Sagala, 2006 :129)
2.    LATAR BELAKANG MUNCULNYA MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah(MBS) tak lepas dari kinerja pendidikan suatu negara berdasarkan sistem pendidikan yang ada sebelumnya. Di hongkong misalnya, kemunculan MBS dilatarbelakangi kurang baiknya sistem pendidikan saat itu. Antara tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai inovasi dilakukan melalui pengnalan kurikulum baru dan pendekatan metode pengajaran  baru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di banyak negara lain seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia, Inggris, Prancis, Selandia Baru, dan Indonesia.
Sebelumnya berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas pndidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti sperti perbaikan kurikulum, profesionalisme guru, mitode pengajaran, dan sistem evaluasi yang kesemunya itu kurang memberikan hasil maksimal. Bersamaan dengan berbagai upaya itu, pada tahun 1980-an terjadi perkembangan yang menggembirakan di bidang manajemen modern, yaitu atas keberhasilan penerapanya di industri dan organisasi komersial.
Keberhasilan aplikasi manajemen modern itulah yang kemudian diadopsi untuk di terapkan di dunia pendidikan. Sejak saat itu masyarakat mulai sadar bahwa untuk meningkatkan kualitas pndidikan perlu melompat atau keluar dari lingkup pengajaran didalam kelas secara sempit ke lingkup organisasi sekolah. Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistem secara struktural  dan gaya manajemen sekolah.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif (effective scholl)  yang mencari dan mempromosikan karakteristik sekolah-sekolah efektif. Ada gerakan anggaran sekolah mandiri (self-budgeting school) yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada yang memfokuskan pada desentralisasi otoritas dari kantor pndidikan pusat kepada aktivitas-aktivitas yang dipusatkan diskolah seperti pengembanagan kurikulum berbasis sekolah (school-based curriculum development), pengembanagn staf berbasis sekolah ( school-based staff development) dan bimbingan siswa berbasis sekolah (school-based student counsling), dan sebagianya. Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda tersebut kemudian melahirkan model-model MBS.
Namun, banyak pakar yang berpendapat bahwa desentralisasi kekuasaan dari tingkat pusat ke tingkat skolah tidak dapat menjamin bahwa sekolah akan menggunakan kekuasaanya secara efktif  untuk meningkatkan kualitas pendidsikan. Oleh karena itu, kedua-duanya, yaitu antara orang yang bertanggung jawab terhadap sekolah dan orang yang menerima layanan pendidikan harusa andil bersama-sama dalam penggambilan keputusan pada tingkat sekolah. Oleh karena itu, muncullah kesadaran akan pentingnya andil seluruh stakeholder sekolah dalam pengambilan keputusan skolah.
Pendeglasian otoritas adalah suatu fundamental di dalam MBS. Namun demikian hanya semata-mata pendeglasian kepada kelompok lain tidak menjamin terjadinya peningkatan kualitas keputusan. Pengambilan keputusan  organisasi akan berhasil secara efektif apabila didukung oleh  perubahan pada berbagai  aspek dalam organisasi. Salah satu hal terpenting yang mndukung kualitas keputusan adalah kualitas kepemimpinan dan gaya kepemimpinan.
Pada akhir tahun 1980-an berbagai bentuk MBS segera menjadi topik sentral dan menjadi stratgi-strategi dalam reformasi pendidikan di berbagai blahan dunia. Ciri MBS adalah adanya kerja sama secara partisifasif dalam mengambil keputusan sekolah secara bersama-sama antara sekolah dan masyarakat.
Di Kanada, kemunculan MBS yang menggunakan istilah school-site Decision Making disadari adanya kelemahan manajemen dari pendeketan fungsional yang mengontrol dan membatasi partisipasi bawahan. Bawahan disepelekan kekuatanya sehingga terjadi ketidakseimbangan kekuasaan. Agar kekuatan bawahan menjadi suatu kekuatan nyata maka perlu dikembangkan, yaitu dalam bentuk MBS.
Saat sekolah-sekolah sebagai penyelenggara pendidikan tida diikutkan  dalam setiap pngambilan keputusan sekolah, apalagi masyarakat sebagai penggunaan jasa layanan pendidikan jauh  dari keterlibatan  pengambilan keputusan skolah. Setiap keputusan yang menyangkut skolah ditentukan birokrasi diatasnya, yaitu pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Dari sinilah terjadinya ketimpangan dalam penyediaan layanan pendidikan karena semuanya ditentukan dari atas.
Oleh karena itu, dalam perspektif administratif, school-site Decition Making dapat dilihat tiga macam sudut pandang yaitu: pertama, dasar kemunculannya karena tidak adanya keseimbangan kekuatan (kekuasaan) antara atasan dan bawahan. Dalam pengertian proses pengambilan keputusan lebih banyak didominisasi oleh atasan, sementara itu bawahan kurang berperan. Kedua, dalam konteks sosial school-site Decition Making sbagai alternatif baru bagi sistem adminitrasi yang sentralisis. Sistem administrasi sentralistis menimbulkan banyak masalah sosial seperti tingkat partisipasi, tingkat keterwakilan, bentuk evaluasi yang cocok dan akuntabilitasnya. Sistem sentralistis semacam ini tidak dapat diperhankan karena munculnya masalah-masalah sosial seperti tingkat pengangguran, kesulitan ekonomi, keterbatasan dana, dan meningkatnya tingkat kekecewaan masyarakat. Ketiga, dalam keterkaitan antar sekolah dengan lingkungan sosial. School-site Decision Making sebagai stategi administratif untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial.
Di amerika Serikat kemunculan MBS dilatarbelakangi karena masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan dngan tuntutan kebutuhan masyarakat. Saat itu kinerja sekolah-sekolah di nergri panasam dianggap tidak sesuai dengan tuntutan yang diperlukan siswa untuk terjun ke dunia kerja. Sekolah dianggap tidak mampu memberikan hasil maksimal dalam konteks kehidupan kompetitif secara global. Salah satu indikasinya adalah prestasi siswa untuk mata pelajaran matematika dan IPA tidak memuaskan. Selanjutnya, langkah yang ditempuh adalah mengubah manajemen sekolah melalui konsep MBS sehingga menghasilkan kinerja sekolah yang baik. Hal itu terjadi setelah masyarakat dan pemerintah menyadari pentingnya pendidikan untuk masa depan.
Oleh karena itu, Reynolds (1997) menyarankan perlunya restrukturasi sekolah yang mencakup empat area utama, yaitu: bagaimana kita memandang siswa dan pembelajaran itu sendiri, bagaiman kita mendinifikasikan program pengajaran dan pelayanan yang diberikan, bagaimana kita mengorganisasi hingga menyampaikan program dan pelayanan, serta bagaimana cara mengelola skolah.
Di Indonesia, latar belakang munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan negara-negara maju yang terlebih dahulu menerapannya. Perbedaan yang mencolok adalah lambatnya kesadaran para pengambilan kebijakan pendidikan di indonesia. Di bayangkan saja dibanyak negara gerakan reformasi pendidikan model MBS ini sudah terjadi pada tahun 1970-an disusul di banyak negara pada tahun 1980-an, namun di indonesia baru dimulai 30 tahun kemudian. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemerintahan otoriter selama orde baru. Semua diatur dari pusat yaitu di jakarta baik dalam penentuan kurikulum sekolah, anggaran pendidikan, pengangkatan guru, metode pembelajaran, buku pelajaran, alat peraga hingga jam sekolah maupun jenis upacara yang harus dilaksanakan sekolah.
Selama bertahun-tahun upaya perbaikan upaya perbaikan selalu dilaksanakan dengan cara tambal sulam. Hingga buku ini ditulis pun belum ada upaya refomasi pendidikan yang sesungguhnya, yang terjadi hanyalah inovasi pendidikan yang masih setengah hati karena keenganan para birokrat pendidikan. Apa yang disebut dengan MBS di Indonesia sebenarnya belumlah merupakan bentuk reformasi, karena tidak terpenuhi beberapa prasyarat dan melewati tahap-tahap yang benar.
Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa MBS muncul karena beberapa alasan. Pertama , terjadinya ketimpangan kekuasaan dan kwenangan yang terlalu terpusat pada atasan dan mengesampingkan bawahan. Kedua kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun di banyak negara. Ketiga, adanya kesadaran para birokrat dan desakan para pencinta pendidikan untuk merestrukturisasi pengolahan pendidikan.
Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia terus dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri didalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang dimliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menrapkan MBS mempunyai sejumlah cirri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adiptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber daya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen yang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memperdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
3.      TUJUAN DAN MANFAAT MBS
            Manajemen berbasis sekolah di Indonesia yang menggunakan model MPMBS (Depdiknas, 2001:5) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif salam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan. Terdapat empat tujuan MBS tersebut, yaitu:
  1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu, MBS bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevan pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada hasil (output dan outcome) bukan pada metodologi atau proses.
  2. Partisipatif, yakni meningkatkan keperdulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
  3. Akuntabilitas, yaitu meningkatkan pertanggungjawaban sekolah pada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolahnya. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atas semua yang dikerjakan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab yang diperolehnya.
  4. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang pendidikan yang akan dicapai.
  5. Mendorong munculnya pemimpin baru di sekolah. Pengambilan keputusan di sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpin. Dalam MBS pemimpin akan muncul dengan sendirinya tanpa menunggu penunjukan dari birokrasi pendidikan.
  6. Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksiblitas komunikasi setiap komunitas sekolah dalam rangka pencapaian kebutuhan sekolah. Kebersamaan dalam setiap pemecahan masalah disekolah telah memperlancar alur komunikasi di antara warga sekolah.
Myers dan Stonehill (1993:2) mengemukakan bahwa manfaat MBS adalah sebagai berikut:
  1. Memperkenankan orang-orang yang berkompeten di sekolah untuk memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlebitan mengambil keputusan yang akan dapat meningkatkan pembelajaran.
  2. Memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlibatan mengambil keputusan kunci (prioritas)
  3. Memfokuskan akuntabilitas pada keputusan
  4. Mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam mendesain program
  5. Mengatur ulang suber daya untuk mendukug tujuan yang dikembangkan disekolah
  6. Mengarah pada penganggaran yang relastik, yang mendorong orang tua dan guru semakin menyadarai akan status keuangan sekolah, batasan pembelajaran, dan biaya dari setiap program
  7. Meningkatkan moril para guru dan memelihara kepemimpinan baru pada setiap tingkat.
Kubick & Kathelin (1988:2) menungkapkan bahwa kelompok kerja The American Association of School Administrators, the National Assosiation of Elementary School Principals, and the National Association of Secondary School Principals (1988) mengidentifikasi sembilan manfaat dari MBS.
  1. Secara formal MBS dapat mengenali keahlian dan kompetensi orang-orang yang bekerja di sekolah dalam rangka membuat keputusan untuk meningkatkan pembelajaran
  2. Melibatkan guru, staf sekolah, dan masyarakat dalam pengambilan keputusan
  3. Meningkatkan moral para guru
  4. Memfokuskan pada akuntabilitas pengambilan keputusan
  5. Membawa keuangan dan sumber daya pembelajaran dalam mengembangkan tujuan pembelajaran di setiap sekolah
  6. Memlihara dan merangsang pemimpin baru di semua tingkatan
  7. Meningkatkan kuantitas dan kualitas komunikasi
  8. Masing-masing sekolah lebih fleksibel dalam mendesain program menuju kreativitas yang lebih besar dan dalam memenuhi kebutuhan para siswanya
  9. Penganggaran menjadi nyata dan lebih realistik
Sementara itu, situs program Managing Basic Education (MBE) menungkapkan bahwa manfaat MBS bagi sekolah adalah menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang sekolah. Di samping itu, pelaksanaan PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) atau pembelajaran kontekstual dalam MBS, mengakibatkan peningkatan kehadiran anak di sekolah, karena mereka senang belajar.
4.      KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MELIBATKAN SEMUA PEMANGKU
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mendiri oleh sekolah dengan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan.

5.      KARAKTERISTIK MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. Ciri-ciri (karakteristik) MBS bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya manusia (SDM), proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:
Organisasi Sekolah
Proses Belajar-Mengajar
Sumber Daya Manusia
Sumber Daya dan Administrasi
      Menediakan Manajemen/organisasi kepemimpinan transformasional dalam mencapai tujuan sekolah
      Meningkatkan kualitas belajar siswa
      Memberdayakan staf dan menempatkan  personel yang dapat melayani keperluan siswa
 Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tersebut, sesuai dengan kebutuhan.


D. URUSAN-URUSAN YANG MENJADI KEWENANGAN TANGGUNG JAWAB SEKOLAH
      Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Urusan-urusan apa sajakah yang perlu menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah”? Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urutan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah kabupaten/Kota harus digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi urusan-urusan pendidikan harus dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu dicatat bahwa desentralisasi bukan berarti semua urusan di limpahkan ke sekolah. Artinya, tidak semua urusan di desentralisasikan sepenuhnya ke sekolah, sebagian urusan masih merupakan kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian urusan lainnya diserahkan ke sekolah. Berikut adalah urusan-urusan pendidikan yang sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah, yaitu:

  1. proses belajar mengajar,
  2. perencanaan dan evaluasi program sekolah,
  3. pengelolaan kurikulum,
  4. pengelolaan ketenagaan,
  5. pengelolaan peralatan dan perlengkapan,
  6. pengelolaan keuangan,
  7. pelayanan siswa,
  8. hubungan sekolah-masyarakat, dan
  9. pengelolaan kultur sekolah.
a. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
            Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang dipilih harus pro-perubahan yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, pembelajaran kuantum, pembelajaran kooperatif, adalah contoh-contoh yang dimaksud dengan pembelajaran yang pro-perubahan.
b. Perencanaan dan Evaluasi
            Sekolah diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS) atau school-based plan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan tersebut, kemudian sekolah membuat rencana peningkatan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah.
            Untuk itu, sekolah harus melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
 c. Pengelolaan Kurikulum
            Saat ini telah terjadi desentralisasi sebagian pengelolaan kurikulum dari pemerintah pusat ke sekolah melalui Permendiknas 22/2006, 23/2006, dan 24/2006. Pengelolaan kurikulum yang dimaksud dinamakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar dan sekolah diharapkan mengoperasionalkan standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Dalam kondisi seperti ini, sekolah dipersilakan memilih cara-cara yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memperkuat, memperluas, mendiversifikasi) kurikulum, namun tidak boleh mengurangi standar isi yang telah tertuang dalam Permendiknas 22/2006. Selanjutnya sekolah berhak mengembangkan KTSP ke dalam silabus, materi pokok pembelajaran, proses pembelajaran, indikator kunci kinerja, sistem penilaian, dan rencana pelaksanaan pembelajaran.
            Sekolah dibolehkan memperkaya mata pelajaran yang diajarkan, artinya, apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan mendiversifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan muatan local dan pengembangan diri.
d. Pengelolaan Ketenagaan (Pendidik dan Tenaga Kependidikan)
            Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan sebagainya.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
            Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f. Pengeloaan Keuanagan
            Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
g. Pelayanan Siswa
            Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/ pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
h. Hubungan Sekolah-Masyarakat
            Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.
i. Pengelolaan Kultur Sekolah
            Kultur sekolah (pisik dan nir-pisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh kultur sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Kultur sekolah sudah merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.






DAFTAR PUSTAKA

A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Base Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvii
Amiruddin Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006), h. 5.
Candoli, Site-Based Management in Education: How to Make It Work in Your School, (Lancaster: Technomic Publishing Co, 1995), xi
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed) Reformasi Pendidikan Dalam Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. 122
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/12/latar-belakang-munculnya-mbs/ diakses pada tanggal 15 Oktober 2012
Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, (Jakarta: Logos, 2002), h.. 16
Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h.. 25
Yusufhadi Miarso. Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 696-697


Tidak ada komentar:

Posting Komentar