LATAR
BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
1.
PENGERTIAN
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
MBS memiliki banyak pengertian, bergantung dari sudut
pandang orang yang mengartikannya. Nurkholis (2003:1), misalnya, menjelaskan
bahwa Manejemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manjemen,
berbasis dan sekolah.
Pertama,
istilah
manejemen memiliki banyak arti. Secara umum manejemen dapat diartikan
sebagai proses mengelola sumber daya secara efektifuntuk mencapai tujuan.
Ditinjau dari aspek pendidikan, manejemen pendidikan diartikan sebagai
segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah
maupun tujuan jangkan panjanga. Kedua, kata berbasis mempunyai kata
dasar basis atau dasar. Ketiga, kata sekolah
merujuk pada lembaga tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Bertolak
dari arti ketiga istilah itu, maka istilah Manejemen Berbasis Sekolah dapt
diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya
yang berdasar pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai
suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Slamet PH(2001) mendefinisikan manajemen berbasis
sekolah dengan bertolak dari kata manajemen, berbasis dan sekolah. Menurut
Slamet bearti koordinasi dab peneyerasian sumber daya melalui sejumlah input
manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, untuk
berbasis artinya “ berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”, sedangkan sekolah
merupakan organi sasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar”
kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik
(makro, meso, mikro) dan profesional-listik (kualifikasi,untuk daya manusia).
Atas dasar itu pula, Slamet menyimpulkan bahwa MBS adalah pengkoordinasian
dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh sekolah
melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka
pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait
dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan(partisipatif). Kelompok kepentingan tersebut meliputi kepala sekolah
dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua
siswa, tokoh masyarakat, para frofesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi
pendidikan.
Wohlsteeter, Priscilla & Mohrman (1996) menyatakan
bahwa MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan
memberikan kewenangan dan kekuasaan kpada partisipan sekolah di tingkat lokat
guna memajukan sekolahanya.sedangkan Myers dan Stonehil (1993) mengemukakan
bahwa MBS merupakan strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer
otoritas pengembilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan
daerah kesekolah-sekolah secara individual.
Sementara itu, Ogawa & Kranz (1990:290) memendang
MBS secara konseptual sebagai perubahan formal dari struktur tata pelayanan
pendidikan(gevormance) yaitu pada distribusi kewenangan pengambilan
keputusan sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah sebagai
unit utama dari peningkatan dan kepercayaan dan juga sebagai alat utama untuk
meningkatkan partisipasi dan dukungan.
Senada dengan pengertiaan Ogawa & Kranz , Kubick
& Kathelen (1988:22) menyatakan bahwa MBS merupakan suatu sistem
administrasi dimana sekolah merupakan satuan yang utama dalam pengambilan
keputusan bidang pendidikan.
Perihal MBS ini, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 51, ayat(1) menyertakan, “Pengelolaan satuan
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar peleyanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah”. Selanjutnya, penejelasan pasal 51, ayat (1)
menerangkan bahwa, “Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah
adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidkan, yang dalam
hal ini kapala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam
mengelola kegiatan pendidikan”.
Selanjutnya, peran komite sekolah yang dalam hal ini
merupakan refleksi dari pemangku kepentingan pendidikan (orang tua, masyarakat,
pengguna lulusan, guru, kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan) trlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam pngelolaan pendidikan di
sekolah. Artinya, dengan MBS tujuan pendidikan yang diharapkan oleh pemangku
dapat dipenuhi.
Secara lebih ringkas definisi MBS adalah otonomi
manajemn sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah
kwenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut
prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah dan sesuai dengan
peraturan perundang undangan pendidikan yang berlaku. Sementara itu,
pengambilan keputusan partisipatif ada lah cara pengambilan keputusan dengan
menciptakan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah
didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang
akan dapat berkontribusi terhadap pencapaiannya tujuan sekolah.
Departeman Pendidikan Nasional Republik Indonesia
menyebut MBS dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Secara umum MPMBS diartikan sebagai model manajemen yang memberi otonomi lebih
besar pada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan pastisipatif yang
melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasioanal.
Beberapa definisi lain yang juga perlu disimak adalah School
Based Management Is A Strategy to imoprove education by transfering significant
decision making autority from state and district offices to individual school. Bahwa
MBS adalah suatu strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan memindahkan
kewenangan pengambilan keputusan yang penting dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah kepada pihak pengelola sekolah.
MBS disebut juga dengan istilah Shared Decision
Making refes to an inclusif or reprensentative decision making proses in which
all members of the group participate as aquels, bahwa MBS merujuk pada
suatu representasi proses pengambilan keputusan dimana seluruh anggota kelompak
berpartisipasi secara seimbang.
Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa MBS adalah
model pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada
tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri secara langsung.
Era Repormasi yang sedang kita
jalani, ditandai dengan beberapa perubahan dibeberapa bidang kehidupan,
politik, moneter, hukum sampai kepada bidang pendidikan. Konsekuensi dari pada
perubahan tersebut diantaranya melahirkan UU No. 22 Thn 1999 tentang Otonomi
daerah, dan UU No. 25 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. UU
tersebut mengakibatkan kewenangan bagi daerah untuk mengurus sejumlah potensi
daerahnya termasuk pendidikan.
Dengan di undangkannya UU No. 22
Tahun 1999 diatas, pada dasarnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
kehendak dan prakarsa sendiri berdasarkan kebutuhan masyarakat sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
Kewenangan daerah kabupaten / kota,
sebagaimana dirumuskan pada pasal II, mencakup semua bidang pemerintahan, yakni
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri tenaga kerja dll. Dengan demikian jelaslah bahwa kebijakan pendidikan
berada dibawah kewenangan daerah kabupaten / kota. ( Mulyasa, 2002 : 5).
Di sinilah signifikansinya
pemerintah daerah mengurusi pendidikan
disebabkan setiap daerah memiliki potensi wilayah yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Jika, manajemen atau lebih tepatnya kebijakan pendidikan
yang diperankan oleh pemerintah daerah
baik dengan mempertimbangkan potensi-potensi yang ada, maka peluang
pendidikan untuk maju semakin besar.
Banyak hal yang telah diluncurkan
oleh pemerintah dalam kaitannya terhadap kemajuan dan keberhasilan pendidikan
di Indonesia, seperti program “ Aku Anak Sekolah” yang didukung oleh
Badan-badan Internasional. Seperti Bank Dunia, dan UNICEP, dan program DBO bagi
sekolah-sekolah yang tidak mampu, program BKM dari dana JPSBP sampai kepada
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sangat signifikan bagi kelangsungan
lembaga / insitusi Pendidikan sekarang ini.
Berbagai program yang dilaksanakan
telah memberikan harapan bagi kelangsungan dan terkendalinya kualitas
pendidikan Indonesia semasa krisis. Akan tetapi, karena pengelolaannya yang
terlalu kaku dan sentralistik, program itu pun tidak banyak memberikan dampak
positif, angka partisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan tetap
menurun. Diduga hal tesebut erat kaitannya dengna masalah manajemen. Dalam
kaitan ini, muncullah salah satu pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang
memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai
kebijakan secara luas. Pemikiran ini dalam perjalanannya disebut manajemen
berbasis sekolah (MBS) atau school based
manajemen (SBM), yang telah berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan
berbagai masalah pendidikan di beberapa negara maju, seperti Australia dan
Amerika.
Konsep “Manajemen Berbasis Sekolah”
(MBS) yang dalam bahasa Inggris disebut School
Based Management, pertama kali muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya
diawali dengan munculnya pertanyaan masyarakat tentang apa yang dapat diberikan
sekolah kepada masyarakat dan juga relevansi dan korelasi pendidikan dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat. Kinerja sekolah pada saat itu dianggap oleh
masyarakat tidak sesuai dengan tuntutan siswa untuk terjun ke dunia usaha dan
sekolah dianggap tidak mampu memberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi
yang kompetitif secara global. Fenomena tersebut oleh pemerintah, khususnya
pihak sekolah dan masyarakat, segera diantisipasi dengan melakukan upaya
perubahan dan penataan manajemen sekolah. Untuk memenuhi kemampuan kompetitif
tersebut, masyarakat dan pemerintah sepakat melakukan reformasi terhadap
manajemen sekolah yang mengacu pada kebutuhan kompetitif. (Sagala, 2006 :129)
2.
LATAR
BELAKANG MUNCULNYA MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
tak lepas dari kinerja pendidikan suatu negara berdasarkan sistem pendidikan
yang ada sebelumnya. Di hongkong misalnya, kemunculan MBS dilatarbelakangi
kurang baiknya sistem pendidikan saat itu. Antara tahun 1960-an hingga 1970-an
berbagai inovasi dilakukan melalui pengnalan kurikulum baru dan pendekatan
metode pengajaran baru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan,
namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di banyak negara lain seperti
Kanada, Amerika Serikat, Australia, Inggris, Prancis, Selandia Baru, dan
Indonesia.
Sebelumnya berbagai inovasi yang diterapkan untuk
meningkatkan kualitas pndidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti sperti
perbaikan kurikulum, profesionalisme guru, mitode pengajaran, dan sistem
evaluasi yang kesemunya itu kurang memberikan hasil maksimal. Bersamaan dengan
berbagai upaya itu, pada tahun 1980-an terjadi perkembangan yang menggembirakan
di bidang manajemen modern, yaitu atas keberhasilan penerapanya di industri dan
organisasi komersial.
Keberhasilan aplikasi manajemen modern itulah yang
kemudian diadopsi untuk di terapkan di dunia pendidikan. Sejak saat itu
masyarakat mulai sadar bahwa untuk meningkatkan kualitas pndidikan perlu
melompat atau keluar dari lingkup pengajaran didalam kelas secara sempit ke
lingkup organisasi sekolah. Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistem secara
struktural dan gaya manajemen sekolah.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai
gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif (effective scholl)
yang mencari dan mempromosikan karakteristik sekolah-sekolah efektif. Ada
gerakan anggaran sekolah mandiri (self-budgeting school) yang menekankan
otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada yang memfokuskan pada
desentralisasi otoritas dari kantor pndidikan pusat kepada aktivitas-aktivitas
yang dipusatkan diskolah seperti pengembanagan kurikulum berbasis sekolah (school-based
curriculum development), pengembanagn staf berbasis sekolah ( school-based
staff development) dan bimbingan siswa berbasis sekolah (school-based
student counsling), dan sebagianya. Gerakan reformasi yang menggunakan
pendekatan berbeda-beda tersebut kemudian melahirkan model-model MBS.
Namun, banyak pakar yang berpendapat bahwa
desentralisasi kekuasaan dari tingkat pusat ke tingkat skolah tidak dapat menjamin
bahwa sekolah akan menggunakan kekuasaanya secara efktif untuk
meningkatkan kualitas pendidsikan. Oleh karena itu, kedua-duanya, yaitu antara
orang yang bertanggung jawab terhadap sekolah dan orang yang menerima layanan
pendidikan harusa andil bersama-sama dalam penggambilan keputusan pada tingkat
sekolah. Oleh karena itu, muncullah kesadaran akan pentingnya andil seluruh
stakeholder sekolah dalam pengambilan keputusan skolah.
Pendeglasian otoritas adalah suatu fundamental di
dalam MBS. Namun demikian hanya semata-mata pendeglasian kepada kelompok lain
tidak menjamin terjadinya peningkatan kualitas keputusan. Pengambilan
keputusan organisasi akan berhasil secara efektif apabila didukung
oleh perubahan pada berbagai aspek dalam organisasi. Salah satu hal
terpenting yang mndukung kualitas keputusan adalah kualitas kepemimpinan dan
gaya kepemimpinan.
Pada akhir tahun 1980-an berbagai bentuk MBS segera
menjadi topik sentral dan menjadi stratgi-strategi dalam reformasi pendidikan
di berbagai blahan dunia. Ciri MBS adalah adanya kerja sama secara partisifasif
dalam mengambil keputusan sekolah secara bersama-sama antara sekolah dan
masyarakat.
Di Kanada, kemunculan MBS yang menggunakan istilah school-site
Decision Making disadari adanya kelemahan manajemen dari pendeketan
fungsional yang mengontrol dan membatasi partisipasi bawahan. Bawahan
disepelekan kekuatanya sehingga terjadi ketidakseimbangan kekuasaan. Agar
kekuatan bawahan menjadi suatu kekuatan nyata maka perlu dikembangkan, yaitu
dalam bentuk MBS.
Saat sekolah-sekolah sebagai penyelenggara pendidikan
tida diikutkan dalam setiap pngambilan keputusan sekolah, apalagi
masyarakat sebagai penggunaan jasa layanan pendidikan jauh dari
keterlibatan pengambilan keputusan skolah. Setiap keputusan yang menyangkut
skolah ditentukan birokrasi diatasnya, yaitu pemerintah pusat atau pemerintah
daerah. Dari sinilah terjadinya ketimpangan dalam penyediaan layanan pendidikan
karena semuanya ditentukan dari atas.
Oleh karena itu, dalam perspektif administratif,
school-site Decition Making dapat dilihat tiga macam sudut
pandang yaitu: pertama, dasar kemunculannya karena tidak adanya
keseimbangan kekuatan (kekuasaan) antara atasan dan bawahan. Dalam pengertian
proses pengambilan keputusan lebih banyak didominisasi oleh atasan, sementara
itu bawahan kurang berperan. Kedua, dalam konteks sosial school-site
Decition Making sbagai alternatif baru bagi sistem adminitrasi yang
sentralisis. Sistem administrasi sentralistis menimbulkan banyak masalah sosial
seperti tingkat partisipasi, tingkat keterwakilan, bentuk evaluasi yang cocok
dan akuntabilitasnya. Sistem sentralistis semacam ini tidak dapat diperhankan
karena munculnya masalah-masalah sosial seperti tingkat pengangguran, kesulitan
ekonomi, keterbatasan dana, dan meningkatnya tingkat kekecewaan masyarakat. Ketiga,
dalam keterkaitan antar sekolah dengan lingkungan sosial. School-site
Decision Making sebagai stategi administratif untuk menyesuaikan dengan
situasi dan kondisi lingkungan sosial.
Di amerika Serikat kemunculan MBS dilatarbelakangi
karena masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan
dngan tuntutan kebutuhan masyarakat. Saat itu kinerja sekolah-sekolah di nergri
panasam dianggap tidak sesuai dengan tuntutan yang diperlukan siswa untuk terjun
ke dunia kerja. Sekolah dianggap tidak mampu memberikan hasil maksimal dalam
konteks kehidupan kompetitif secara global. Salah satu indikasinya adalah
prestasi siswa untuk mata pelajaran matematika dan IPA tidak memuaskan.
Selanjutnya, langkah yang ditempuh adalah mengubah manajemen sekolah melalui
konsep MBS sehingga menghasilkan kinerja sekolah yang baik. Hal itu terjadi
setelah masyarakat dan pemerintah menyadari pentingnya pendidikan untuk masa
depan.
Oleh karena itu, Reynolds (1997) menyarankan perlunya
restrukturasi sekolah yang mencakup empat area utama, yaitu: bagaimana kita
memandang siswa dan pembelajaran itu sendiri, bagaiman kita mendinifikasikan
program pengajaran dan pelayanan yang diberikan, bagaimana kita mengorganisasi
hingga menyampaikan program dan pelayanan, serta bagaimana cara mengelola
skolah.
Di Indonesia, latar belakang munculnya MBS tidak jauh
berbeda dengan negara-negara maju yang terlebih dahulu menerapannya. Perbedaan
yang mencolok adalah lambatnya kesadaran para pengambilan kebijakan pendidikan
di indonesia. Di bayangkan saja dibanyak negara gerakan reformasi pendidikan
model MBS ini sudah terjadi pada tahun 1970-an disusul di banyak negara pada
tahun 1980-an, namun di indonesia baru dimulai 30 tahun kemudian. Hal ini tidak
terlepas dari sistem pemerintahan otoriter selama orde baru. Semua diatur dari
pusat yaitu di jakarta baik dalam penentuan kurikulum sekolah, anggaran
pendidikan, pengangkatan guru, metode pembelajaran, buku pelajaran, alat peraga
hingga jam sekolah maupun jenis upacara yang harus dilaksanakan sekolah.
Selama bertahun-tahun upaya perbaikan upaya perbaikan
selalu dilaksanakan dengan cara tambal sulam. Hingga buku ini ditulis pun belum
ada upaya refomasi pendidikan yang sesungguhnya, yang terjadi hanyalah inovasi
pendidikan yang masih setengah hati karena keenganan para birokrat pendidikan.
Apa yang disebut dengan MBS di Indonesia sebenarnya belumlah merupakan bentuk
reformasi, karena tidak terpenuhi beberapa prasyarat dan melewati tahap-tahap
yang benar.
Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa MBS muncul
karena beberapa alasan. Pertama , terjadinya ketimpangan kekuasaan dan
kwenangan yang terlalu terpusat pada atasan dan mengesampingkan bawahan. Kedua
kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun di
banyak negara. Ketiga, adanya kesadaran para birokrat dan desakan para
pencinta pendidikan untuk merestrukturisasi pengolahan pendidikan.
Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia terus
dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah
dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri didalam mengolah dan
memanfaatkan sumber daya yang dimliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah
yang menrapkan MBS mempunyai sejumlah cirri, yaitu memiliki tingkat kemandirian
yang tinggi, bersifat adiptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa
kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki
kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber daya dan kondisi kerja,
mempunyai komitmen yang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan
dalam penilaian, memiliki kemampuan memperdayakan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif, serta meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
3. TUJUAN DAN
MANFAAT MBS
Manajemen
berbasis sekolah di Indonesia yang menggunakan model MPMBS (Depdiknas, 2001:5)
bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif salam kerangka meningkatkan kualitas
pendidikan. Terdapat empat tujuan MBS tersebut, yaitu:
- Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu, MBS bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevan pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada hasil (output dan outcome) bukan pada metodologi atau proses.
- Partisipatif, yakni meningkatkan keperdulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
- Akuntabilitas, yaitu meningkatkan pertanggungjawaban sekolah pada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolahnya. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atas semua yang dikerjakan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab yang diperolehnya.
- Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang pendidikan yang akan dicapai.
- Mendorong munculnya pemimpin baru di sekolah. Pengambilan keputusan di sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpin. Dalam MBS pemimpin akan muncul dengan sendirinya tanpa menunggu penunjukan dari birokrasi pendidikan.
- Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksiblitas komunikasi setiap komunitas sekolah dalam rangka pencapaian kebutuhan sekolah. Kebersamaan dalam setiap pemecahan masalah disekolah telah memperlancar alur komunikasi di antara warga sekolah.
Myers dan Stonehill (1993:2) mengemukakan bahwa
manfaat MBS adalah sebagai berikut:
- Memperkenankan orang-orang yang berkompeten di sekolah untuk memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlebitan mengambil keputusan yang akan dapat meningkatkan pembelajaran.
- Memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlibatan mengambil keputusan kunci (prioritas)
- Memfokuskan akuntabilitas pada keputusan
- Mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam mendesain program
- Mengatur ulang suber daya untuk mendukug tujuan yang dikembangkan disekolah
- Mengarah pada penganggaran yang relastik, yang mendorong orang tua dan guru semakin menyadarai akan status keuangan sekolah, batasan pembelajaran, dan biaya dari setiap program
- Meningkatkan moril para guru dan memelihara kepemimpinan baru pada setiap tingkat.
Kubick & Kathelin (1988:2) menungkapkan bahwa
kelompok kerja The American Association of School Administrators, the National
Assosiation of Elementary School Principals, and the National Association of
Secondary School Principals (1988) mengidentifikasi sembilan manfaat dari MBS.
- Secara formal MBS dapat mengenali keahlian dan kompetensi orang-orang yang bekerja di sekolah dalam rangka membuat keputusan untuk meningkatkan pembelajaran
- Melibatkan guru, staf sekolah, dan masyarakat dalam pengambilan keputusan
- Meningkatkan moral para guru
- Memfokuskan pada akuntabilitas pengambilan keputusan
- Membawa keuangan dan sumber daya pembelajaran dalam mengembangkan tujuan pembelajaran di setiap sekolah
- Memlihara dan merangsang pemimpin baru di semua tingkatan
- Meningkatkan kuantitas dan kualitas komunikasi
- Masing-masing sekolah lebih fleksibel dalam mendesain program menuju kreativitas yang lebih besar dan dalam memenuhi kebutuhan para siswanya
- Penganggaran menjadi nyata dan lebih realistik
Sementara itu, situs program Managing Basic Education
(MBE) menungkapkan bahwa manfaat MBS bagi sekolah adalah menciptakan rasa
tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah,
guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana
Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana
secara terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan ini telah meningkatkan
kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap
sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk
menunjang sekolah. Di samping itu, pelaksanaan PAKEM (pembelajaran aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan) atau pembelajaran kontekstual dalam MBS,
mengakibatkan peningkatan kehadiran anak di sekolah, karena mereka senang
belajar.
4.
KONSEP
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MELIBATKAN SEMUA PEMANGKU
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang
dilakukan secara mendiri oleh sekolah dengan semua pemangku kepentingan yang
terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk
memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan
pendidikan.
5.
KARAKTERISTIK
MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH
Apabila manajemen berbasis lokasi
lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS menyediakan layanan pendidikan
yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu
berada. Ciri-ciri (karakteristik) MBS bisa dilihat dari sudut sejauh mana
sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan
sumber daya manusia (SDM), proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana
digambarkan dalam tabel berikut:
Organisasi Sekolah
|
Proses Belajar-Mengajar
|
Sumber Daya Manusia
|
Sumber Daya dan Administrasi
|
Menediakan
Manajemen/organisasi kepemimpinan transformasional dalam mencapai tujuan
sekolah
|
Meningkatkan
kualitas belajar siswa
|
Memberdayakan
staf dan menempatkan personel yang dapat melayani keperluan siswa
|
Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan
dan mengalokasikan sumber daya tersebut, sesuai dengan kebutuhan.
|
D. URUSAN-URUSAN
YANG MENJADI KEWENANGAN TANGGUNG JAWAB SEKOLAH
Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen berbasis
pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara
lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Urusan-urusan apa sajakah yang perlu
menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah”? Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urutan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah kabupaten/Kota harus digunakan sebagai acuan
dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi urusan-urusan
pendidikan harus dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu
dicatat bahwa desentralisasi bukan berarti semua urusan di limpahkan ke
sekolah. Artinya, tidak semua urusan di desentralisasikan sepenuhnya ke
sekolah, sebagian urusan masih merupakan kewenangan dan tanggungjawab
Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian urusan
lainnya diserahkan ke sekolah. Berikut adalah urusan-urusan pendidikan yang
sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah, yaitu:
- proses belajar mengajar,
- perencanaan dan evaluasi program sekolah,
- pengelolaan kurikulum,
- pengelolaan ketenagaan,
- pengelolaan peralatan dan perlengkapan,
- pengelolaan keuangan,
- pelayanan siswa,
- hubungan sekolah-masyarakat, dan
- pengelolaan kultur sekolah.
a.
Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama
sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik
pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik
mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata
sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik
pembelajaran dan pengajaran yang dipilih harus pro-perubahan yaitu yang mampu
menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta
didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Pembelajaran dan pengajaran
kontekstual, pembelajaran kuantum, pembelajaran kooperatif, adalah
contoh-contoh yang dimaksud dengan pembelajaran yang pro-perubahan.
b.
Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk menyusun rencana
pengembangan sekolah (RPS) atau school-based plan sesuai dengan
kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan
pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi sekolah. Oleh karena itu, sekolah
harus melakukan analisis kebutuhan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi
sekolah. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan tersebut, kemudian sekolah
membuat rencana peningkatan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah.
Untuk itu, sekolah harus melakukan evaluasi,
khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan
oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi
hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering
disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar
benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
c.
Pengelolaan Kurikulum
Saat ini telah terjadi desentralisasi sebagian
pengelolaan kurikulum dari pemerintah pusat ke sekolah melalui Permendiknas
22/2006, 23/2006, dan 24/2006. Pengelolaan kurikulum yang dimaksud dinamakan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pemerintah Pusat hanya menetapkan
standar dan sekolah diharapkan mengoperasionalkan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Dalam
kondisi seperti ini, sekolah dipersilakan memilih cara-cara yang paling sesuai
dengan kondisi masing-masing. Sekolah dapat mengembangkan (memperdalam,
memperkaya, memperkuat, memperluas, mendiversifikasi) kurikulum, namun tidak
boleh mengurangi standar isi yang telah tertuang dalam Permendiknas 22/2006.
Selanjutnya sekolah berhak mengembangkan KTSP ke dalam silabus, materi pokok
pembelajaran, proses pembelajaran, indikator kunci kinerja, sistem penilaian,
dan rencana pelaksanaan pembelajaran.
Sekolah dibolehkan memperkaya mata pelajaran yang diajarkan, artinya, apa yang
diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat
diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan mendiversifikasi kurikulum,
artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan
selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan muatan local
dan pengembangan diri.
d.
Pengelolaan Ketenagaan (Pendidik dan Tenaga Kependidikan)
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen,
pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan
kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi,
laboran, dan sebagainya.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut
pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini
masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e.
Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari
pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga pengembangan. Hal ini didasari
oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas,
baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang
sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f.
Pengeloaan Keuanagan
Pengelolaan keuangan, terutama
pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini
juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami
kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah
seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk
melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating
activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada
pemerintah.
g. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan
siswa baru, pengembangan/ pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan
sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni,
sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan
ekstensitasnya.
h. Hubungan
Sekolah-Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk
meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari
masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya,
hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena
itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas
hubungan sekolah-masyarakat.
i. Pengelolaan Kultur Sekolah
Kultur sekolah (pisik dan nir-pisik) yang
kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar
mengajar yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Lingkungan
sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari
warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada
siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh kultur sekolah
yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Kultur sekolah sudah merupakan
kewenangan dan tanggungjawab sekolah sehingga yang diperlukan adalah
upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik
Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Base Management,
Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvii
Amiruddin
Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Jakarta: Quantum
Teaching, 2006), h. 5.
Candoli,
Site-Based Management in Education: How to Make It Work in Your School,
(Lancaster: Technomic Publishing Co, 1995), xi
Fasli Jalal
dan Dedi Supriadi (ed) Reformasi Pendidikan Dalam Otonomi Daerah, (Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2001), h. 122
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/12/latar-belakang-munculnya-mbs/
diakses pada tanggal 15 Oktober 2012
Ibtisam Abu
Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, (Jakarta:
Logos, 2002), h.. 16
Ibtisam Abu
Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h.. 25
Yusufhadi Miarso. “Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi
Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai
Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 696-697
Tidak ada komentar:
Posting Komentar